top of page
Search

Manusia dan Ketidakadilan




Seorang teman (yang memang aktivis perempuan) memposting foto dengan caption “karena diam adalah penghianatan” di akun instagramnya. Ia tengah ikut serta dalam kampanye black live matter. Sejauh yang Saya kenal teman saya ini memang aktivis yang kritis dan istiqomah membela minoritas. Tidak ada yang salah dengan dia, Saya malah salut. Yang salah adalah Saya. Saya merasa tersinggung dengan quote “karena diam adalah penghianatan”. Saya tidak berkontribusi apapun dalam kampanye black live matter terkini yang berlangsung sejak kasus pembunuhan George Floyd. Saya juga heran terhadap diri sendiri, kog Saya nggak komentar apa-apa terhadap peristiwa itu di medsos?. Biasanya saya sangat responsif terhadap isu sosial. Minimal bikin statement di insta story. Tapi kali ini tidak.


Saya sedang lelah dengan tragedi. Terlalu aktif di media sosial membuat Saya terpapar dengan tragedi 24 jam sehari tanpa jeda. Karantina selama pandemik membuat Saya mau tidak mau ya hanya berteman dengan media sosial. Tidak hanya isu sosial politik, tapi bahkan di dunia hiburan juga banyak tragedi. Terbaru ada video klip youtber unik yang di-take down[1] karena diklaim oleh label besar menyalahi hak cipta. Netizen kemudian menyerbu penyanyi yang memiliki judul lagu yang sama dengan si youtuber.


Video klip di-take down menurut Saya pasti menjadi tragedi bagi si mbak Youtuber yang kalau diamati dari beberapa interview, sangat polos dan masih buta hukum. Saya yakin dia pasti ketakutan kalau-kalau pihak label akan menuntutnya soal hak cipta. Kasihan. Beberapa waktu lalu seorang youtuber melakukan prank terhadap transgender yang berujung penuntutan hukum. Seingat Saya beberapa waktu sebelum kasus prank ini terjadi, ada kasus transgender mati terbunuh - dibakar di Jakarta saat dituduh mencuri handphone. Sebuah tragedi kemanusiaan yang membuat batin perih. Saya ingat saat itu Saya menyatakan amarah melalui insta story.


Sebagai manusia Saya juga mengalami banyak tragedi dalam hidup. Kematian nenek, kematian Ibu, putus cinta, itu semua tragedi dalam hidup Saya. Beberapa bahkan menyisakan trauma. Namun bagi Saya pandemik Korona adalah yang paling tragis. Hidup dan mengalami pandemik adalah tragedi terbesar dalam hidup Saya. Kebebasan Saya terberangus, banyak rencana tertunda, ekonomi memburuk. Dampak negatif pandemik dirasakan semua manusia, bukan hanya Saya.


Tapi rupanya itu semua (dampak negatif pandemik) masih belum cukup untuk manusia rasis, serakah, ignorance, dan bodoh di luar sana. Orang-orang itu menambah derita di masa pandemik dengan melakukan tindakan tidak berfaedah bahkan kriminal. Saya heran apa mereka ini nggak lelah dengan situasi pandemik?. Apa perlu menggunakan kekerasan dalam tindakan hukum sehingga menghilangkan nyawa?. Apa yang membuat manusia tega membakar manusia lain karena prasangka?. Bagaimana seorang pemuda bisa kehilangan empati dan melakukan tindakan prank yang bodoh dan tolol?. Mereka semua bertindak seolah perbuatan mereka tidak memiliki konsekuensi. Mungkin terlalu bebal untuk menyadari resiko perbuatan mereka akan berakhir sebagai tragedi kemanusiaan.


Situasi pandemik saja sudah cukup mencekam, sungguh kita tidak membutuhkan lebih banyak lagi kegaduhan. Setidaknya bagi Saya, Saya tidak butuh lebih banyak tragedi lagi. Apa nggak bisa ya kita hidup damai-damai saja selama pandemi? Sehingga paling tidak masalah yang kita harus hadapi hanya menjinakkan virus Korona?. Tapi sepertinya memang nggak bisa ya. Tragedi terus terjadi, tercatat dalam sejarah dan diwariskan sebagai pengetahuan. Bodohnya kita, banyak tragedi terus terulang. Membuat manusia mengulang kengerian yang sama. Pembunuhan didasari rasisme, perang antar agama, perang antar suku, pertikaian politik, pelecehan seksual, pembunuhan.


Tapi yasudahlah, sering Saya berpikir. Saat satu hal (baik atau buruk) terus terjadi bahkan setelah kita berupaya keras untuk mencegah, artinya kita harus bisa hidup dengan itu. Dalam arti, kita harus menerima bahwa kehidupan tidak bisa berjalan ideal. Damai terus, manusianya baik semua, aman tentram. Tidak ada tindakan rasisme, tidak ada perempuan yang ditindas, tidak ada anak yang terlantar, tidak ada orang yang kelaparan, itu semua kondisi ideal yang sulit terjadi. Bahkan dalam berbagai sudut pandang, sangat mustahil terjadi. Jadi menurut Saya, kita semua harus berlapang dada menerima. Bukan berarti kita lantas berhenti mengusahakan kebaikan, tapi kita harus menerima kenyataan bahwa kita akan terus menjumpai tragedi dan harus terus berperang melawan ketidakadilan, selamanya.


Tapi mungkin dunia ini memang butuh tragedi. Entah mungkin karena kita tanpa sadar memang menyukai tragedi?. Buktinya sinetron-sinetron dengan tema azab, pelakor, kematian, anak tertukar, selalu laris. Film-film hantu berlatar belakang pemerkosaan diikuti pembunuhan laku bagai pisang goreng di hari hujan. Mungkin juga tragedi dibutuhkan untuk membangunkan empati, bisa jadi. Di dunia tanpa tragedi, bisa jadi empati akan mati karena jarang terlatih. Jika kita tidak pernah menyaksikan ketidakadilan, kita tidak pernah tahu pentingnya membela keadilan bukan?.


Namun hal di atas sungguh ironi. Sebegitu kejamnya kah “hukum kehidupan” ini hingga harus ada orang yang terluka agar yang lain bisa mengambil pelajaran?. Ketidakadilan yang diterima oleh kelompok minoritas seperti transgender, penduduk kulit hitam di Amerika (dan negara lain), bahkan orang Timur yang merantau ke pulau di daerah barat Indonesia. Anak-anak kelaparan di Afrika, ibu-ibu yang meninggal saat melahirkan karena dana fasilitas kesehatan dikorupsi, perempuan yang babak belur tubuh dan jiwa-nya akibat KDRT, anak-anak, perempuan, dan pria korban pelecehan yang seumur hidup menanggung trauma. Adilkah bila penderitaan itu harus ditanggung mereka agar kita, bisa mengambil pelajaran (hikmah)?. Bagi Saya tidak. Itu tidak adil. Tidak ada seorang manusia pun yang layak diperlakukan tidak layak.


Namun sekali lagi sahabat, ketidakadilan terjadi setiap hari di planet tempat kita hidup. Dari skala besar hingga kecil. Dari yang bernuansa politis-rasis sampai yang abu-abu merah jambu. Dari korupsi hingga di-PHP gebetan. Kita tidak bisa lari, tidak juga mampu menghindari. Suka tidak suka Saya, dan kamu semua harus hidup bersama ketidakadilan. Dan kita punya pilihan. Pada siapa kita akan memberikan keberpihakan – pada rasa takut atau pada kemanusiaan. Tulisan ini adalah nasehat untuk diri Saya sendiri. Semoga bisa menjadi pemantik kesadaran bagi sahabat yang bermurah hati membaca hingga tanda baca terakhir.

[1] Saat tulisan ini diunggah, video klip yang dimaksud telah kembali tayang di youtube.




5 views0 comments

Recent Posts

See All

Maju Kena Mundur Kena

Hidup sedang maju kena mundur kena. Saya nggak tahu dulu warkop dki bisa came up dengan kalimat ini. Tapi nggak heran sih, anggota warkop orang-orang cerdas. Mungkin mereka pernah mengalami situasi ma

Post: Blog2_Post
bottom of page