top of page
Search

37 and Still in A Mess


ree

Yep, akhirnya sudah genap 37 tahun. Namun hidup saya masih juga berantakan. Belum punya tabungan, asuransi lari, hutang masih ada. Tidak saya pungkiri, saya sedang menjalani kehidupan yang saya impikan saat saya di sekolah menengah. Tinggal di lingkungan multikultural, bertemu dan terpapar budaya dari berbagai latar belakang bangsa, berbicara dua bahasa, persis seperti impian masa remaja. Tapi (TENTU SAJA) - yang saya tidak tahu sebelumnya - adalah segala sesuatu ada harganya. Ya, "harga". Dalam kasus saya, "harga" yang harus saya bayar untuk menjalani kehidupan yang saya impikan adalah depresi, kesulitan finansial, kesepian, keterasingan, dan sederet kompleksitas kehidupan yang anak umur 15 - 16 tahun mana paham. Sebagai golongan yang meng-klaim open minded, saya ingkar terhadap "standar keumuman operasional hidup" yaitu sekolah, kerja, menikah, punya anak. Dulu di usia 20-an saya sangat yakin standar operasional itu adjustable, bahkan nggak perlu dilakukan. Sampai sekarang pun saya masih setuju standar operasional itu bukan keharusan bahkan bukan STANDAR (gimana sih eis). Itu hanya sebuah keumuman, bukan standar validitas eksistensi diri. Namun entah bagaimana, dari mana dan kapan datangnya, saat memasuki usia 30 tahun ke atas saya mulai menyadari ada yang kosong dalam diri. Lalu entah bagaimana juga saya mulai mendambakan pasangan tetap yang committed, punya anak dari rahim saya sendiri, ingin merasakan pengalaman mengandung bayi. Hasrat ini bahkan lebih kuat dibandingkan dengan hasrat membangun karir atau sekolah lagi. Aneh? rasanya iya. Maka tanpa malu, dengan penuh ke-rendah hatian sebagai manusia rebel, saya mengakui saya kesepian dan mendambakan kehidupan keluarga, pernikahan (mungkin?). Tapi sebagai seseorang yang (meng-klaim) skeptis, saya menyisakan kemungkinan lain. Kekosongan yang saya rasakan bisa saja karena saya ini tidak religius. Mungkin sebagai makhluk hidup kita perlu sepercik, setitik saja, rasa percaya pada sesuatu yang adiluhung?. Mungkin ya. Atau apakah rasa kosong ini adalah keniscayaan sebagai salah satu animalia yang sok-sokan menciptakan konsep moral dan entah bagaimana memiliki konsep batin?. Tidak ada yang menjamin setelah menikah, punya keluarga, dan percaya tuhan, kita lalu merasa utuh?. Jangan-jangan memang kehidupan sekosong dan seabsurd ini. Tapi yasudah, hidup tetap harus dijalani. Bagaimana pun dukanya, bagaimana pun kerasnya, selama belum mati, harus terus diperjuangkan. Selamat 37 tahun saya, terima kasih sudah bertahan.

 
 
 

Recent Posts

See All

Comentarios


Post: Blog2_Post

Subscribe Form

Thanks for submitting!

  • Instagram
  • Facebook

©2020 by A Slice Of Live. Proudly created with Wix.com

bottom of page