top of page
Search

Jualan Konspirasi di Tengah Pandemi

Updated: Aug 12, 2020

"Azab, cobaan dan konspirasi" adalah beberapa konsep yang selalu jadi kambing hitam saat musibah datang. Ya memang terserah pada masing-masing pribadi bila ingin memercayai itu semua sebagai "latar belakang" datangnya suatu musibah. Sebagai pribadi yang memang berseberangan dengan mereka yang memercayai tiga konsep tadi, wajar dong kalau Saya gelisah.


Saya memang tidak relijius. Tapi itu bukan alasan utama Saya tidak mau makan konsep "azab, coabaan dan konspirasi". Menurut Saya ketika suatu masalah muncul lalu dengan segera seseorang menyimpulkannya sebagai "azab, cobaan, dan konspirasi" - ia telah melakukan simplifikasi masalah. Akibatnya bisa fatal. Sekali lagi, menurut Saya.


Ambil contoh pandemi Covid-19 yang sedang kita alami sekarang. Terus terang Saya pribadi kesal melihat orang-orang awam termasuk youtuber yang membahas teori konspirasi Covid-19. Setidaknya mereka, sepanjang yang Saya tahu tidak punya lisensi formal ilmuwan atau tenaga kesehatan. Mereka tidak punya wewenang ilmiah (ini istilahnya Arai di Novel Laskar Pelangi btw) untuk menganalisa dan menyimpulkan pandemi ini. They are not scientist not even close to.


Tapi yah memang begitulah teori konspirasi. Teori konspirasi itu tidak perlu pembuktian ilmiah seperti sains. Asal ada satu fakta (ingat, dalam filsafat fakta adalah realita yang dipersepsi) yang sedikit saja berhubungan dengan kasus, lalu dihubungkan dengan fakta lain yang masih punya hubungan dengan kasus. Boom jadilah teori konspirasi itu. Tidak perlu verifikasi berlapis, yang penting sedikit masuk akal. Yah di level ini lah teori konspirasi berada. Istilah kasarnya (baca: slank) cocoklogi aja gitu.


Problemnya gini ya. Bila Anda percaya Covid-19 dilatar belakangi oleh konspirasi elite global, Anda telah menolak realitas (bukan lagi fakta) yang secara empiris tidak bisa disangkal. Apa itu? ya kerusakan lingkungan. Kerusakan ekosistem. Gaya hidup, pola konsumsi, industri yang tidak ramah lingkungan, telah membuat tatanan ekosistem berantakan. Dan semua manusia punya kontribusi atas kerusakan ini, even aktivis lingkungan sekalipun. Coba tengok pola hidup masing-masing.


Dalam kasus Saya pribadi, Saya masih menggunakan terlalu banyak barang plastik dan pembalut sekali pakai. Gimana dengan kamu?. Gimana dengan kantor-kantor pemerintah, perusahaan-perusahaan, kantor-kantor LSM?. Berapa emisi karbon yang kita semua hasilkan tiap harinya?. Setiap hari, sadar atau tidak, kita telah berkontribusi memanaskan suhu bumi. Peningkatan suhu bumi menurut ilmuwan, menjadi salah satu penyebab mutasi virus.


Memercayai teori konspirasi juga berarti Anda meragukan kemampuan sains untuk memrediksi masa depan hingga 10-20 tahun ke depan. Bukan dengan ramalan, kartu tarot, horoskop apalagi cocoklogi. Tapi dengan matematika!. Kita hidup dalam satuan waktu. Masa depan adalah waktu maju dari kehidupan kita saat ini. Apakah matematika bisa memprediksi apa yang akan terjadi satu detik kemudian, satu jam kemudian, satu tahun kemudian?. Jawabannya ya dan tidak. Ada hal-hal yang bisa diprediksi menggunakan matematika ada juga yang tidak. Misal seorang Sarjana Sipil yang tengah membangun sebuah gedung bertingkat. Tentu dia bisa menghitung berapa lama ketahanan bangunan bila dilakukan perawatan sempurna dan tidak. Berapa banyak Ia harus mecampur semen agar bangunan bisa kokoh puluhan tahun. Ini bisa dikerjakan dengan matematika.


Para youtuber dan influencer bisa menggunakan statistik untuk memetakan relasi antara konten dengan jumlah viewer. Lalu dari statistik itu mereka bisa mendapat gambaran konten apa yang menarik viewer terbanyak sehingga di masa depan mereka bisa menambah jumlah penonton sekaligus pengikut dengan memaksimalkan konten yang menjadi favorit.


Matematika membersamai tiap sendi kehidupan kita. Dari karyawan yang menghitung alokasi gaji, pedagang di pasar yang mengantisipasi untung rugi, tengkulak yang mencari cara mengirit ongkos transportasi. Matematika hadir di sana, menjadi alat hitung, sarana memrediksi masa depan. Pertanyaanya, apa matematika bisa memrediksi munculnya pandemik?. 




Saya mau beri disclaimer dulu. Saya bukan matematikawan. Saya sarjana sosiologi yang bego matematika, tapi toh secara empiris matematika memang jadi satu-satunya alat ukur dan hitung. Saya jelas lebih memilih data matematika dibanding teori konspirasi yang entah berdasarkan data yang mana (atau siapa?).


Oke balik ke pertanyaan di paragraf sebelumnya: apakah matematika bisa memrediksi munculnya pandemi?. Jawabannya iya, bisa banget. Para ilmuwan (biologis, mikrbiologis, matematikawan, virolog dll) sangat bisa memrediksi kemunculan pandemi. Dan sebetulnya pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini sudah diprediksi oleh ilmuwan bertahun-tahun sebelumnya.


Sejak suhu bumi meningkat akibat perubahan iklim para ilmuwan sudah memrediksi akan muncul patogen baru karena perubahan suhu memiliki relasi dengan mutasi virus. Urbanisasi, pengalihan hutan menjadi kebun dengan satu tanaman saja, industri, pola konsumsi manusia modern telah membuat ekosistem mengalami perubahan tatanan besar-besaran.


Ekosistem telah rusak oleh kita. Berapa banyak hewan kehilangan tempat tinggal karena hutan dibuka menjadi ladang sawit, misalnya. Kita tahu hewan-hewan liar adalah inang alami bagi virus tertentu yang secara natural memang ada dan hidup dalam tubuh mereka. Saat hewan-hewan ini kehilangan tempat tinggal dan terdesak, kontak dengan manusia pun terjadi. Kontak antara manusia dengan hewan liar membawa resiko memindahkan virus dari hewan ke manusia. (Sila baca: https://www.nationalgeographic.com/science/2020/04/experts-warned-pandemic-decades-ago-why-not-ready-for-coronavirus/). 


Oke jadi dengan hanya satu faktor saja, sebut suhu bumi yang meningkat wabah bisa terjadi. Belum lagi bicara manusia yang menjual belikan hewan liar, mengonsumsi, secara nyata melakukan kontak fisik dengan hewan-hewan yang kita tahu menjadi inang alami bagi beberapa virus. Korona virus adalah RNA virus yang secara alami berada dalam tubuh kelelawar.


Menurut wikipedia, sistem imun kelelawar tidak memberikan respon berlebih terhadap virus korona dalam tubuh mereka sehingga tidak terjadi akibat fatal pada kelelawar. Tapi tidak dengan manusia. Beberapa pasien meninggal Covid-19 yang berusia muda disebutkan tubuhnya memberikan reaksi imun yang berlebihan saat virus masuk sehingga menyebabkan kematian. Karakteristik korona virus salah satunya adalah tingkat penularannya yang sangat tinggi.


Saya sering bercanda ke teman "ini tu virus mure, asal ada reseptor ya menclok dia". Tapi ini benar, sudah divalidasi, dan diperparah dengan gaya hidup modern kita saat ini. Mobilisasi manusia yang makin tinggi, dalam sehari ribuan orang bisa keluar masuk negara lain tanpa batas. Lebih buruk lagi, dunia belum memiliki fasilitas apapun untuk menghadapi wabah. Indonesia sudah punya kelengkapan aturan penanggualan bencana gempa bahkan tsunami. Tapi wabah? belum. Nggak perlu minder sih, negara maju lain juga belum punya.


Saat ini hampir tiap negara punya kelengkapan militer canggih, teknologi canggih, siap perang fisik, nuklir dan teknologi. Tapi ironis, sekarang semua lumpuh oleh satu entitas yang... kecil, tidak kasat mata, tidak begitu dipedulikan, tapi mematikan. Virus. Sebaiknya kita berhenti menjadi denial sekarang. Bukan hanya nuklir yang jadi ancaman bagi manusia, tapi patogen juga. 


Yah tapi yang sudah terjadi ya sudah, mari kita hadapi ini bersama. Pembelajarannya adalah pemerintah perlu melakukan investasi di bidang kesehatan. Contoh Korea Selatan dan Jerman. Pembelajaran lainnya adalah please dengarkan ilmuwan. Ilmuwan bisa ngomong tentang wabah atau bencana mendatang saat kita semua sedang asik video call dengan pacar, travelling mewah ke Eropa, kumpul-kumpul dengan gank, nonton live selebgram, sibuk nge-vlog, kerja, pacaran, dan kita tidak peduli. Melirik pun tidak. Padahal statement ilmuwan bukan keluar dari pepesan kosong.


Setidaknya untuk pemerintah, please pay attention to them. Sekali lagi please investasi di bidang kesehatan. Penting. Saya tahu untuk Indonesia prioritas kita masih banyak. Sebagai negara kepulauan yang masih berkembang infrastruktur kita masih buruk sehingga pembangunan infrastruktur layak jadi prioritas. Tapi Saya berdoa semoga wabah ini membuat pemerintah terbuka matanya untuk mulai investasi di bidang kesehatan. 


Oke balik lagi ke teori konspirasi. Eh tapi sebelumnya udah idem ya (mudah-mudahan) bahwa sains bisa memrediksi wabah. Itu hal yang gampang untuk sains. Jadi ya terserah sih mau percaya sains (yang jelas-jelas sudah teruji dan bisa diverifikasi) atau teori kosnpirasi yang sumbernya entah valid atau tidak. Hanya saja seperti yang disebutkan di atas, simplifikasi masalah itu bisa sangat fatal.


Saat masalah muncul memang lebih mudah dan enak untuk menunjuk orang lain sebagai penyebabnya. Wabah Covid-19 muncul, tunjuk aja negara, perusahaan riset, atau elite yang menjadi dalang penyebar virus. Masalah beres, tangan kita tidak dosa karena kita korban, mereka yang penjahat. Oh dan nggak perlu khawatir berlebihan, kalau semua ini konspirasi berarti vaksinnya udah ada. Santai aja lah. Di sini gawatnya simplifikasi masalah. 


Mengapa simplifikasi masalah seperti di atas itu gawat?. Pertama, kita jadi terbiasa menolak untuk introspeksi diri. Apa yah yang udah aku lakukan sampai muncul masalah begini? - ini tidak terjadi saat kita langsung menunjuk orang sebagai konspirator masalah. Masukkan istilah lain - cobaan dan azab. Sama saja. Dalam konsep azab, masalah muncul karena dosa yang dilakukan manusia.


Problemnya, ini bisa memicu konflik horizontal. Manusia itu pada dasarnya merasa suci. Kita bisa menuduh orang lain sebagai pendosa yang menyebabkan munculnya azab. Rasanya ini sering sekali terjadi di negara Saya. Mudah-mudahan di negara kamu tidak ya. Lagi-lagi, kita malas introspeksi.


Balik lagi ke wabah Covid-19, coba kita hitung dan ingat-ingat apa konstribusi kita pada perubahan iklim? pasti banyak. Saya sering berpikir apakah skincare dan kosmetik yang Saya pakai tiap hari dalam produksinya ikut memperparah perubahan iklim?.


Kedua, percaya pada teori konspirasi akan cenderung membuat kita jadi pribadi yang denial (mohon maaf Saya tidak menemukan padanan kata yang pas dalam Bahasa Indonesia). Ya wabah itu konspirasi elite, tidak ada hubungan dengan kerusakan ekosistem. Tidak ada hubungan dengan pekerjaan kita nangkepin kelelawar untuk dijual atau dimakan. See, sudah sadar bagaimana rusaknya itu?.


Ketiga, percaya teori konspirasi cenderung bikin kita jadi tidak waspada. Ah tenang aja, vaksinnya udah ada. Santuy aja. Keempat, yah pastinya mengundang petaka ya guys kalau kebanyakan percaya teori konspirasi. Tinggal diurutkan saja. Introspeksi diri emoh, denial, tidak waspada, yang terjadi apa kalau sudah begitu?. Masalah yang sama bisa terulang. 


Saya bukan orang suci. Kalian mungkin iya, tapi Saya mah penuh dosa. Tapi kan katanya saling mengingatkan dianjurkan ya. Satu hikmah yang Saya ambil dari pandemi ini adalah Saya mau ada perubahan perilaku untuk Saya pribadi. Dimulai dari perubahan pola pikir. Bagaimana pola berpikir ditentukan oleh apa yang Saya baca, tonton, dan temui.


Semoga kita semua selalu diberi petunjuk untuk bertemu dan berada di tempat yang tepat dengan orang yang baik. Sehingga pola pikir kita benar, perilaku kita juga benar. Karena kita tidak hanya bertanggung jawab pada Tuhan masing-masing nanti saat kita semua wafat. Tapi saat ini di dunia, kita juga bertanggung jawab pada bumi yang kita tinggali, hewan dan tumbuhan yang hidup berdampingan dengan kita, juga manusia lain. 



4 views0 comments

Recent Posts

See All

Maju Kena Mundur Kena

Hidup sedang maju kena mundur kena. Saya nggak tahu dulu warkop dki bisa came up dengan kalimat ini. Tapi nggak heran sih, anggota warkop orang-orang cerdas. Mungkin mereka pernah mengalami situasi ma

Post: Blog2_Post
bottom of page