Tulisan ini berangkat dari banyak peristiwa yang Saya sendiri alami. Semuanya terjadi di masa lalu, yah 8 sampai 5 tahun ke belakang. Ada juga yang terjadi dua tahun yang lalu. Saya meminjam momen hari perempuan sedunia untuk menulis ini. Ini soal bagaimana perempuan bisa bersikap begitu mengerikan terhadap perempuan lain. Padahal kita perempuan, kita mengalami banyak obstacle dalam peradaban patriarkis. Seharusnya yang muncul adalah solidaritas, bukan persaingan yang diekspresikan seperti setan. Sejujurnya saya sangat trauma bahkan hingga sekarang. So here I am, please bear with me.
Peristiwa pertama. Saat usia saya 22 tahun, saya baru saja keluar sekte dan pindah ke Yogyakarta untuk kuliah dan mulai hidup baru. Saya betulan anak dewasa yang nggak tahu apa-apa soal pergaulan. Cuma tahu internet. Dan somehow saya dikenalkan oleh teman kepada seorang laki-laki yang lalu saya pacaran nih dengan dia. Yep, saya ini late bloomer. Baru pertama kali pacaran di usia 22 tahun. Saat itu masih polos banget wkwk. Kita pacaran beberapa bulan, lalu si mas ini ngajak saya menikah. Usia si mas ini sudah 30 tahun. Lalu saya diajaklah ke rumah si mas ini, dikenalkan ke ibu dan kakak iparnya yang juga perempuan. Kakak iparnya sih baik banget. Ibunya sedikit cuek. Tapi saat itu Saya nggak kepikiran jauh. Saya pikir wajar karena baru kenal. Fast forward beberapa hari kemudian ada sms masuk dari nomor nggak dikenal. Isinya kurang lebih gini-Saya masih inget banget ya allah haha :( "ini ibunya mas *** nggak setuju mas *** sama kamu. Kamu jelek, gendut, item". Saya inget adek saya yang perempuan marah-marah habis baca sms itu. Saya anehnya nggak rasa apa-apa, langsung numb gitu. Anaknya si Ibu yang mulia ini udah ke rumah, ketemu Bapak, bilang mau nikahin Saya dll. Mantan saya meminta maaf, tapi Ibunya nggak pernah sampai hari ini.
Peristiwa kedua. Terjadi saat saya masih kuliah. Saya ini tipikal rebel yang most of the time, oposisi terhadap norma & nilai mayoritas. Oleh karenanya Saya susah cari teman. Anehnya Saya lebih nyaman berteman dengan laki-laki. Karena kalau cerita dengan mereka, saya nggak dihakimi. Saya agak sulit berteman dengan perempuan karena saya nggak feminin, nggak ngerti fashion. Bukan merendahkan perempuan di lingkungan Saya dulu. Waktu awal-awal kuliah di UIN saya keracunan baca filsafat. Nah tandem ngobrol soal gituan yang enak ya teman laki-laki. Saya nggak nemu teman perempuan yang punya interest yang sama dengan Saya di kampus. Jadi teman diskusi dan ngobrol Saya ya laki-laki. Saya punya teman cowo yang jadi tandem ngobrol ngalor ngidul diskusi ini itu. No feeling at all dari sisi saya , dari sisi dia juga. Dia bukan tipe saya, saya juga bukan tipenya. Memang kita sering bareng, satu kelompok atau ngantin. Tapi kita cuma teman.
Lalu temen saya ini punya pacar, yang juga satu jurusan dan satu kelas sama kita. Satu hari nih angkatan kita ada acara keluar kampus inget banget nih ogut wkwk. Tiba-tiba teman cowo saya ini text, minta dibantuin angkat spanduk ucapan selamat wisuda kalau nggak salah. Ya Saya bantuin dong, saya mah setia kawan. Eh terus pas selesai acara kampus, di bis (kan rombongan satu angkatan). Gank pacar dari teman cowo Saya, nyindir-nyindir (mereka duduk di kursi di belakang Saya). Mereka kesel sama Saya gara-gara saya bantuin ngurusin spanduk wisuda tadi. Kayaknya mereka pikir saya ini nggak tahu diri. Bisa-bisanya berduaan sama pacar orang. LAH. Akhirnya saya sms semua member gank itu, termasuk pacar teman Saya. Saya ajak mereka bertemu di sebuah cafe. Sudah clear, tapi saya tahu ada satu orang (atau mungkin semua?) yang masih meremehkan saya sampai hari ini. Kalau nggak inget umur, pengennya saya tampar, tarik rambutnya, jedotin ke aspal. Tapi yaudahlah, saya juga berlumuran dosa.
Ogut sih bisa memahami mungkin ada kesalahpahaman di sana ya. Cuma geli banget dah cara mereka memperlihatkan ketidaksukaan mereka terhadap apa yang terjadi. Seharusnya kan, kalau ada yang kita nggak suka dari orang lain, sampaikan di depan dengan cara yang baik dan sopan. Lagipula kasus yang mereka ributkan juga hanyalah persoalan saya bantuin teman saya copot spanduk, bukan mau maling pacar orang. Saya yang dimintai tolong, bukan saya yang nawarin diri. Kalau si mbak pacar dkk waras, justru bersyukur sih mestinya. Karena teman laki-laki Saya ini nggak mau nyusahin dia. Masa ya pacar cakepnya suruh copot-copot spanduk. Lha emang tukang. Sementara saya dengan teman laki-laki saya ini, kita nggak pernah melihat masing-masing sebagai perempuan dan laki-laki. Jadi makanya mau minta tolong ngerjain kerjaan kasar kayak begitu ya enak-enak aja. Peristiwa ini entah kenapa masih menyisakan rasa UENEG luar biasa hingga hari ini.
Peristiwa ketiga. Ini satu kejadian di circle lain lagi. Ada kelompok diskusi antar agama yang saya ikuti di Yogyakarta dulu. Sekali lagi yah, saya ini hanya mbak-mbak baru rebel dari sekte yang nggak ngerti apa-apa. Ditambah lagi anak kampung miskin, kucel. Sementara teman-teman saya di sana hampir semuanya dari kelas ekonomi atas. Tapi jujur saya nggak merasa minder, tapi juga nggak kepedean (menurut saya sih). Mungkin karena saat itu Saya dipenuhi semangat membara untuk eksplor pergaulan & wawasan ya. Rasanya seneng banget bisa ketemu dengan orang-orang yang sepemikiran. Se-frekuensi lah kalau kata anak sekarang.
Tapi terus yah mon maap nih saya sampai malu nih menceritakan ini. Trigger-nya lagi-lagi adalah persoalan remeh temeh sekali, yaitu laki-laki. Saya dekat dengan laki-laki di circle yang sama...which is si mas ini juga deket sama banyak orang nggak cuma saya. Lalu ada satu teman wanita yang honestly I used to be looking up to her. Buat saya saat itu, teman wanita ini keren. Mandiri, pintar, cantik dan punya keberpihakan. Satu hari saya cerita ke dia saya sedang dekat dengan si mas A. Reaksi dia pecah banget. Dia bilang-duh inget banget nih ogut wkwk- "lagian mas *** ngapain sih sama elu kayak nggak ada cewek lain aja". Itu saya kayak disiram air es segalon, terus galonnya dibantingin ke kepala saya sekalian. Detik itu juga saya langsung cabut. Saat itu kita lagi ngopi di cafe. Setelah peristiwa itu saya masih maintain hubungan baik tapi nggak mau lagi dekat. Sampai hari ini dia nggak pernah minta maaf. Sakit hati saya nggak pernah sembuh.
Peristiwa keempat. Wah ini sih pecah sih. Dilakukan oleh wanita yang profilnya nyaris sama dengan di peristiwa ketiga. Wanita, dari kelas atas, well educated, lulusan sekolah luar, mandiri, seems fun to be with, tapi mentalnya sama: nggak mau kesenggol egonya. Pada awalnya Saya melihat sosok teman wanita ini sebagai orang yang matang, sangat pintar, kritis, humble dan baik. Tapi dalam perjalanan pertemanan, ada banyak peristiwa buruk yang melibatkan sikap dia terhadap saya. Saya ini nggak pintar tapi saya observant yang handal. Saya tahu dia nggak suka ada orang lain yang lebih unggul dari dia ketika kumpul-kumpul. Saya berkali-kali di-shut down ketika sedang berbicara, hanya karena dia nggak ngerti topiknya. Padahal di banyak kesempatan, saya juga nggak ngerti topik karena saya orang miskin. Saya nggak pernah keluar negeri, dll. Tapi Saya cukup tahu diri untuk diam dan mendengarkan. Toh ketidaktahuan itu wajar, bukan hal yang memalukan menurut Saya. Terlebih tiap orang kan punya interest yang berbeda-beda.
Saya sudah berusaha maintain pertemanan karena saya paham dia sebetulnya bukan orang jahat. Tapi ada banyak lagi kejadian yang lebih menyakitkan dan membunuh karakter saya sebagai individu dan perempuan. Salah satu yang paling saya sesalkan adalah saat dia dan temannya (yang juga teman saya-duh) mengatakan saya mungkin memikat lelaki dengan payudara saya yang besar. Yep our friend said it in front of me and her and she laughed at it. Wah itu rasanya bagaikan lahar gunung berapi dituang matang-matang ke kepala saya. Seandainya yang mengatakan itu orang lain yang nggak kenal saya sama sekali, saya bisa maklum. Lha ini teman sendiri. Mereka kenal saya, tahu pemikiran saya, visi saya sebagai manusia dan perempuan. Saya lebih dari sekedar toked besar, bangsat!. Dan ya mereka nggak pernah minta maaf. Mungkin malah nggak menyadari itu kesalahan.
Saya nggak menerima gas lighting macam "ah lu over sensitive is". No, jangan selalu menerima dibungkam dengan konsep "baperan lu". Karena saya tahu bukan cuma saya yang menjumpai dan mengalami women being mean to other women. Saya tahu hidup itu kompetitif. Saya bukannya meminta perempuan untuk nggak serius mengejar dan mendapatkan yang mereka mau. Saya nggak menyalahkan perempuan yang bersikap agresif. Tapi ya pakai empatinya lah terhadap sesama.
Saya sudah trauma berteman dengan perempuan jujur aja. Apalagi yang berasal dari kelas menengah ke atas. Saya bisa memahami, hidup dengan banyak privilege sejak kecil pasti punya bekas di dalam mental orang-orang kaya. Terlebih ketika bertemu dengan orang dari kelas jelata macam saya. Saat orang seperti saya punya pencapaian (meskipun itu seremeh temeh saya dekat dengan mas A atau nemu musik indie baru) mereka seketika merasa saya nggak pantas. Perempuan dari kelas jelata macam Saya tu ya pantesnya deket sama laki-laki dari kelas jelata juga, yang nggak usah cakep-cakep lah. Masa euis dengerin ardhito pramono sih, paling taunya cuma geisha aja kan. Kalau euis pernah pacaran sama mas-mas dari Italia, Amerika atau Jerman baru-baru ini, itu karena dia punya toked gede doang...makanya cowok pada mau. Gitu. Dalam pikiran mereka.
Saya tahu mereka bukan orang jahat. Mereka baik, sampai seseorang men-trigger ego mereka. Dan entah kenapa mereka nggak pernah minta maaf. Sedih sih denga fakta, trauma mental saya sebagian besar melibatkan tindakan yang dilakukan oleh perempuan. Sebetulnya saya sudah muak dengan konsep campaigne "perempuan korban" seperti ini. Saya lebih suka menceritakan kisah sukses perempuan, lebih happy gitu. Tapi fakta perempuan bersikap jahat atas perempuan lain itu persis seperti kanker ya.
Saya ini juga berlumuran dosa dan belajar dari berbagai peristiwa. Dari peristiwa ini di satu sisi saya berterima kasih ke teman-teman saya, dan satu Ibu di cerita ini. Dari mereka Saya tahu pribadi seperti apa yang tidak boleh ada dalam diri Saya. Perbuatan mereka adalah alarm konstan untuk diri saya sendiri, jangan sampai Saya begitu juga ke siapapun. Lalu saya juga ingin minta maaf pada teman-teman saya dan Ibu di cerita ini. Maaf, saya tidak bisa memenuhi harapan kalian. Jika yang kalian harapkan adalah saya untuk duduk diam di tempat, tidak punya mimpi, tidak berani punya nilai diri, karena Saya jelek, gendut, hitam, toked besar, miskin, dll. Maaf saya nggak bisa memenuhi harapan kalian. Karena saya akan tetap berjalan, berlari, dan terbang dalam playground kehidupan yang kita huni bersama. Saya akan lakukan yang Saya mau, karena saya mau. Saya tidak merasa perlu membuktikan apa-apa pada siapa-siapa. Penilaian kalian sepanjang itu relevan, akan saya perhatikan. Tapi jika kalian hanya ingin menetapkan ego dan kekuasaan kelas, maaf saya lebih memilih mati sendirian dibandingkan bersama kalian tapi dibonsaikan.
Selamat hari perempuan, perempuan. Saya tahu jadi perempuan itu sulit. Tapi nggak sesulit itu kalau kita menyadari hal paling mendasar dari diri kita. Kita ini manusia. Saat kita kebingungan tentang apa yang sebaiknya kita lakukan dalam hidup. Cita-cita saya apa, lulus kuliah mau ngapain, saya mau nikah umur berapa. Saat kita bingung, tarik diri kamu ke dasar untuk bertemu seorang manusia dalam tubuh perempuanmu. Tanyakan apa yang sejatinya dia mau. Berusaha keraslah untuk menjadi baik, karena itu pintu masuk ketenangan hidup. Dan ingat, seorang manusia yang berada dalam tubuh perempuanmu itu, selalu punya hak untuk memilih serta kesanggupan menghadapi hidup.
Comments