Bagi para lajang seperti Saya pertanyaan ini bagaikan tidur di malam hari di cuaca panas daerah tropis tanpa kipas angin. Auto nggak nyaman dibuatnya bos. Saat ini usia Saya 32 tahun dan masih belum tahu kapan akan menikah. Apakah saya akan menikah?. Saya yakin pasti banyak (baik perempuan maupun laki-laki) yang berada di tahap ini. Berdialog dengan diri sendiri, apakah kita butuh menikah?. Bagi Saya ini mungkin akan jadi dialog seumur hidup. Pada akhirnya dalam hidup Saya (dan banyak orang), pernikahan hanya sebatas monolog. Hanya menjadi sebuah pilihan, tidak harus dilakukan.
Saya pribadi menganggap pernikahan itu ribet (melibatkan negara, keluarga, dll). Saya berpikir jika menikah, Saya hanya akan melakukannya satu kali saja seumur hidup. Cerai kan juga keluar biaya, jadi mendingan jangan cerai kalau sudah menikah. Namun Saya juga nggak yakin apa bisa bertahan seumur hidup dengan orang yang sama. Bagaimana bila Saya bosan? bila suami Saya bosan? bila kita berdua tumbuh ke arah yang berlawanan dan tidak cocok lagi?.
Sementara menjadi lajang sangat membahagiakan. Saya punya penghasilan sendiri, bisa handle problem sendiri, dan tentu saja kebebasan absolut!. Saya nggak melihat urgensi melakukan pernikahan. Bahkan ketika jatuh cinta dan punya hubungan tidak ada terlintas untuk menikah. Buat apa? tanpa menikah kita bisa bersama, bill dibayar sendiri-sendiri, nggak ada keinginan punya anak (dulu). Hubungan dinikmati berdua lebih nyaman ketimbang melibatkan keluarga. Saya nggak suka mengenalkan pasangan ke keluarga karena ribet. Pasti akan muncul banyak pertanyaan. Satu pertanyaan dijawab, seribu pertanyaan akan muncul. Malas.
Pernah terpikir nggak sih, kenapa begitu banyak dari generasi Kita (? lu aja kali ya is wkwk) yang skpetis terhadap pernikahan?. Bisa jadi karena globalisasi, perkembangan zaman, milenium, banyak dari generasi milenial dan post milenial menjadi skeptis terhadap pernikahan. Kehidupan makin efisien berkat teknologi tapi juga makin kompetitif. Tiap detik kompetitor muncul dan kita harus cermat melangkah dan menggunakan waktu. Kita mulai memilah-milah tindakan. Mana yang penting dan tidak. Mana yang prioritas dari daftar yang penting. Mana yang tidak penting tapi memiliki benefit, dan seterusnya. Tindakan dan keputusan generasi kita didasarkan pada matriks-matriks tadi. Termasuk sikap terhadap pernikahan. Penting nggak, prioritas nggak, apa benefitnya?.
"Milenial Dreams" istilah yang Saya ciptakan sendiri untuk mendeskripsikan pengalaman Saya mengenai achievement. Achievement imipian generasi milenial adalah gaining freedom and full rights over their lives. Freedom of speech, freedom of expression, freedom of religion, freedom of doing what we want to do. To know and be sure that we have rights and choices for our lives. Bukan bekerja di perusahaan multinasional ternama, bukan jadi saudagar kaya, menikahi wanita cantik, pria kaya, dan punya anak banyak. Bagi Kami itu semua usang. Kami mau melakukan hal yang Kami suka, membebaskan diri sendiri dan orang lain. So marriage is not in our list unless we choose it.
Kompleksitas kehidupan melatih Kami menjadi ahli dalam menyusun prioritas. Kapan melanjutkan S2, kapan mempersiapkan daftar beasiswa, kapan harus bekerja full time, kapan menikah, kapan ada budget cukup untuk melakukan hobi, dll. Urusan Kami banyak, bukan hanya sekedar mencari suami dan punya anak. Mimpi Kami tinggi, melebihi dorongan naluriah untuk menjadi Ibu. Seringkali Saya ingin meneriakkan ini semua kepada mereka yang terus merongrong ketenangan hidup Saya dengan pertanyaan "kog nggak nikah-nikah sih, udah 30 loh". PLEASE. Kami memang single, tapi Kami single yang sibuk. We are content.
Sekaligus menglarifikasi anggapan bahwa we stay single is simply because we want to have sexual freedom. OH MY. At least untuk Saya pribadi, desire terbesar Saya ada pada menambah pengetahuan dan wawasan. To create something could benefit peoples. To write, to travel, to get intense with nature and culture. Kami bukan orang cabul dan pengangguran. Banyak teman perempuan single yang waktunya mereka habiskan untuk bekerja atau menjadi aktivis, bukan kecentilan cari pacar sana-sini.
Tentu tidak semua generasi milenial dan post mil skeptis terhadap pernikahan. Banyak yang justru kontra dengan sikap Saya yang skeptis terhadap pernikahan. Kawan-kawan inilah yang jadi kesayangan para orang tua. No Saya nggak anti terhadap kawan-kawan ini. Seperti Saya, mereka juga punya kuasa atas hidupnya dan secara sadar memilih untuk menikah. Alasannya berbagai macam. Dan itu sah-sah saja. Selama mereka melakukannya karena kesadaran sendiri bukan paksaan. Bukan juga untuk memenuhi validasi sosial. Kami sadar, menikah dan tidak menikah masing-masing ada resikonya (hm mau Saya coba bahas di Part II).
Generasi orang tua Saya mungkin akan sulit mengerti, setidaknya ini yang Saya yakini dulu. Generasi mereka adalah yang Saya sebut sebagai kolot, konservatif, tradisional, many of them are strictly reliogious. Sangat bersebarangan dengan pandangan terbuka dan multikultural yang generasi Saya usung. Makin menyebalkan lagi dari generasi mereka lah pertanyaan "kapan menikah" paling banyak muncul. Ada satu Bu Dhe di kampung yang setiap ketemu pertanyaannya selalu sama, siapa pacar Saya, kapan Saya mau ngenalin calon suami. Apa pekerjaan Saya, bagaimana kehidupan di perantauan, itu semua nggak menarik untuk beliau.
Saya heran apa Bu Dhe dan banyak orang tua lain nggak tertarik atau minimal penasaran dengan pekerjaan kita ya?. Atau mengapa jarang terlintas di pikiran orang seusia Bu Dhe Saya untuk menyakan hal lain. Misalnya apakah Saya ingin sekolah lagi, atau apa Saya punya keinginan bekerja di tempat lain. Mengapa harus jodoh, pernikahan, itu lagi itu lagi yang jadi bahan pertanyaan. Apa karena di usia mereka excitement terhadap pendidikan, traveling, sudah nggak ada lagi?. Sudah hilang pula excitement untuk memulai hobi baru, bertemu orang baru, sehingga hanya itu yang ada di kepala mereka untuk kami juniornya?. Apa jangan-jangan saat Saya seusia mereka, Saya akan jadi orang menyebalkan yang sama persis?.
Untuk part pertama hanya sampai di sini. Di part kedua Saya mau coba menjelaskan duduk perkaranya supaya orang-orang macam Saya nggak disalah pahami. Saya nggak anti pernikahan. Saya hanya mencoba menggunakan akal budi dalam menyikapi konsep pernikahan. Itu saja.
Comments