top of page
Search
Writer's pictureElmasyi

Dibalik Pertanyaan Kapan Nikah (Part II)

Updated: Oct 8, 2021



Peristiwa I

Satu malam sakit pinggang saya sampai di level paling parah. Untuk bangun duduk dari posisi berbaring aja setengah mati rasanya. Lebih dramatis lagi, saya sesak nafas. Jam 1 pagi saat itu saya order taxi online untuk ke IGD di RS terdekat. Di IGD saya diminta tes darah dan urin, juga diberikan suntikan untuk menurunkan asam lambung, supaya sesak nafas berkurang. Kabar baiknya hasil lab saya bagus. Saya nggak mengalami infeksi apapun. Dan nggak ada indikasi terpapar covid. Jadi akhirnya saya dikirim pulang dan disarankan untuk lebih sering berolah raga.


Peristiwa II

Satu hari dalam hari-hari kontrol rutin saya ke internis, hasil radiologi saya menakjubkan. Ukuran batu dalam empedu saya mengecil signfikan. Dari 1,6 cm menjadi 0,5 cm. Bahkan dokter saya pun takjub. Beliau sampai bilang "adek islam ya? sholat yah habis dari sini. Ini mukjizat". (Kentara banget saya ini islam berkat nama belakang Saya, masitoh).

PS: tentu saja saya bersyukur. Namun saya juga bekerja keras. Saya diet dan disiplin berolah raga. Maaf Tuhan, bukan saya sombong. Tapi saya juga mau dikasih kredit hehehe.


Peristiwa III

Satu malam setelah kencan. Saya pulang ke kos dan langsung berbaring. Seharusnya saya bahagia (saya pikir seharusnya saya bahagia). Setelah sekian lama Saya berhenti bertemu orang baru sejak pandemik. Tapi entah bagaimana dan dari mana datangnya emosi itu, saya merasa kosong.


Monolog I

"Hm dalam kehidupan yang seperti roller coaster ini, yang serba random ini, dimana suffering dan happiness datang dan pergi layaknya semilir angin. Ternyata manusia butuh based. Tempat kita pulang, mengadu, menerima dukungan, mencurahkan cinta dan kasih sayang. Tempat kita memperoleh kekuatan untuk berperang di luar. Setiap hari."


Monolog II

"Hm jadi apakah ini latar belakang orang-orang menikah dan membangun kelurga?. Sebuah based. Tempat kita berharap kita bisa selalu diterima. Sebuah tim yang bisa diandalkan untuk membantu saat tiba-tiba jam 1 pagi saya harus ke IGD. Sebuah tim yang saya bisa membagi kebahagiaan saat penyakit menahun dalam tubuh saya mengalami progress positif. Inner circle yang saya harap bisa mengisi salah satu dari banyak palung kekosongan jiwa" (?)


Monolog III

"Hm sepertinya ini kali ya yang mendasari bapak, pak dhe, bu dhe, uwak, teteh, mamang, dan banyak teman selalu menanyakan kapan menikah. Karena mereka semua pernah ada di fase yang sedang saya jalani sekarang. Hidup mandiri, sendiri, berusahan tetap waras dan awas bertahan dari random-nya kehidupan"


Monolog Final

"Hm berarti bukan semata emosi kepo yang mendasari pertanyaan kapan nikah muncul dari mereka. Sangat mungkin latar belakang pertanyaan itu muncul adalah karena mereka khawatir dengan saya, karena mereka sayang. Sangat mungkin mereka berpikir akan lebih baik dan secure jika saya punya pasangan karena bisa saling menjaga satu sama lain"


Pengakuan

"maafkan saya yang sudah suudhon membabi buta terhadap kalian para penanya kapan nikah. Sebelum ini saya terlalu dangkal menganggap kalian sebagai manusia-manusia dangkal yang tidak punya mimpi tinggi, mainstream dan boring. Saya akui saya salah"


Statement

"Ya saya mulai memahami benefit dari menikah dan punya keluarga. Dan yah jujur saja saya ini pragmatis orangnya; benefit dari pernikahan itu menarik. Hanya ya saya nggak mau jadi asshole yang main menikah dan berkeluarga seenaknya karena emosi. Tetap harus saya rencanakan dengan matang. Dimulai dari harus bertemu dengan pasangan yang cocok (compatible), situasi finansial saya harus sudah settle. Baru saya akan maju untuk menikah dan berkeluarga. Itu pun, jika di masa depan dengan berbagai pertimbangan childfree lebih baik...ya saya akan menikah dan nggak perlu punya anak. Jadi sabar ya, jangan maksa.


Tapi memang ironi ya kita membangun keluarga semata karena ingin mengatasi emptiness atau loneliness. Tapi dalam konteks "everybody are clueless in this random life" saya pikir itu nggak apa-apa. Setidaknya saya bisa memahami hal ini akhirnya. Spesies kita sudah lama beranjak dari kehidupan masyarakat berburu meramu ke masyarakat industri teknologi. Sekarang kita sudah sampai di tahap awal masyarakat digital. Meski masalah kelaparan masih ada, tapi secara umum kebutuhan pokok sudah bukan menjadi masalah. Kita nggak perlu lagi rebutan lahan gandum dan berburu hewan berkat industri pertanian. Teknologi di bidang kesehatan berkembang pesat hingga memungkinkan spesies kita bertahan hidup dari serangan penyakit. Bahkan kita masih survive loh dari pandemik korona virus. Kehidupan kita relatif bahagia dan tidak mencekam karena seluruh penduduk dunia setuju dan bersepakat untuk hidup damai dalam aturan-aturan. Meski masih ada negara-negara yang dilanda perang saudara, tapi dibandingkan masa-masa perang dunia, 0rganisasi kehidupan homo sapiens sudah matang dan stabil. Perang relatif bisa dihindari, malah kolaborasi makin diminati. Hidup kita sekarang ini bisa dibilang sangat nyaman.


Saya curiga kenyamanan inilah yang akhirnya justru mengantarkan kita pada masalah laten lain, ya kesepian. Perut kita sudah kenyang, pikirang kita sudah tenang, kita jadi punya waktu untuk memikirkan banyak hal, mempertanyakan banyak hal, mendefinisikan dan memaknai ulang kehidupan. Kita jadi punya waktu untuk melakukan hobi, seni, fashion, seks rekreasi (bukan lagi reproduksi semata). Di tengah kebisingan dan kompetisi yang kian ketat karena perkembangan teknologi, entah bagaimana dan sungguh ironi...manusia mulai mengalami hilang pegangan dan kekosongan. Pekerja kantoran, detektif, dokter, akuntan, tukan bangunan, mereka butuh oase saat pekerjaan mereka selesai. Pulang ke rumah berjumpa dengan anak istri atau suami adalah salah satu dari oase itu.


Yah jadi gitu. Saya sendiri masih nggak nyangka pandangan Saya bisa berubah begini. Tapi saya nggak merasa ada yang salah. Hidup kan perjalanan dan sudah sunnatullah kita semua menyerap apa-apa yang terjadi di sekitar, lalu menginternalisasi semua itu sehingga lahir sebuah perspektif. Dan kehidupan itu seperti air menurut Saya. Dia mengalir, menggenang, berubah bentuk mengikuti wadah, tapi esensinya selalu sama. Air akan bermuara, kita pun sama. Hanya dalam perjalanan alirannya, kita akan selalu berubah bentuk mengikuti wadah di tempat dan waktu kita berada. Dan ingat, waktu dan tempat kita selalu dan akan selalu berbeda dengan orang lain begitu pun sebaliknya.


Jadi sepertinya ada bagusnya juga melihat fenomena pertanyaan "kapan nikah" dari perspektif lain.

Baiklah, segitu saja. Terima kasih.




7 views0 comments

Recent Posts

See All

Maju Kena Mundur Kena

Hidup sedang maju kena mundur kena. Saya nggak tahu dulu warkop dki bisa came up dengan kalimat ini. Tapi nggak heran sih, anggota warkop...

Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page