Getir rasanya membaca dan mendengar berita bahwa Indonesia krisis regenerasi petani muda. Sebagai anak petani saya auto merasa malu. Bahasa gaulnya, baper gitu. Sedari kecil Saya nggak punya cita-cita jadi petani. Setelah besar, bahkan setelah punya kesadaran pentingnya bercocok tanam saya tetap tidak tertarik. Alasannya pertama, pekerjaan petani adalah pekerjaan yang berat. Kedua, penghasilannya sedikit. Sekarang menjadi karyawan swasta, penghasilan bulanan Saya setara dengan penghasilan panen rata-rata orang tua dulu. Orang tua saya dulu petani padi. Satu tahun paling banyak kita bisa dua kali panen. Bisa sih, tiga kali panen tapi jarang. Jadi bayangkan, penghasilan tiga bulan sekali dari hasil bertani, bisa saya dapatkan hanya dalam waktu 1 bulan bekerja. Gaji saya juga masih di bawah 10 juta /bulan, jadi bayangkan penghasilan tahunan petani itu dikit banget demi Ya Lord.
Alasan pendapatan ini sih yang paling signifikan. Kecuali kita punya lahan yang sungguhan luas dalam hitungan hektar, pendapatan bertani tidak sebanding dengan kerja keras yang sudah dilakukan. Timeline bertani padi (hanya ini yang saya tahu soalnya orang tua cuma tanam padi) itu panjang. Langkah pertama sebelum menanam benih, tanah harus digemburkan dulu. Disinilah kegiatan bajak sawah diperlukan. Apa yang disebut membajak sebetulnya adalah membersihkan sisa akar-akar tanaman padi yang telah dipanen. Juga untuk mengangkat tanah bagian dalam agar naik ke permukaan. Bila menggunakan traktor, proses ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama menggunakan alat dengan ujung tajam untuk mengangkat bagian tanah dalam yang berisi akar sisa tanaman. Lalu setelah sisa-sisa akar dibersihkan, dilanjutkan menggunakan alat yang ujungnya rata untuk meratakan kembali tanah.
Dan yak, kita semua tahu nggak semua petani punya mesin traktor dan alat sendiri. Kita harus sewa. Itu pun, belum tentu traktor bisa menjangkau semua medan persawahan. Bila lahan sawah kebetulan berada di lereng yang sulit dijangkau, pemilik traktor enggan menyewakan karena khawatir mesinnya rusak di perjalanan. Biasanya di situasi ini petani menggunakan tenaga kerbau untuk membajak. Dan bayangkan, untuk membalik tanah, membersihkan sisa akar, meratakan, lalu terus membajak sampai tanah cukup lembut, bukan pekerjaan sehari dua hari. Udah di depan mata kan tuh berapa biaya sewa alat, bahkan sewa kerbau kalau nggak punya kerbau. Biaya makan, dan jasa untuk tenaga yang dikeluarkan karena terlalu berat untuk dikerjakan sendiri. EH jangan stres dulu, karena ini baru TAHAP AWAL dari penggarapan lahan. Penan masih jauuh di Mesir sana kak!.
Setelah tanah cukup gembur, biasanya baru tuh dikasih pupuk. Nah setelah ini baru bisa ditanami benih padi. Menanam benih padi juga nggak sembarangan. Biasanya penggarap lahan sudah mengatur baris-baris untuk menanam benih. Jarak antar benih yang ditanam dalam satu barisan juga diatur. Jadi bertani itu pekerjaan yang menuntut pengalaman, ketelitian, harus tekun juga. Di desa saya ada istilah "matun". Matun adalah pekerjaan memonitor (anjir keren) sekaligus membersihkan rumput-rumput yang tumbuh liar di sekitar benih-benih padi yang mulai berbuah. Biasanya sih mamak-mamak yang banyak ambil pekerjaan ini. Si Tukang Matun ini akan memonitor apakah tinggi rumput sudah di level yang menganggu pertumbuhan benih atau nggak. Kalau dikira sudah cukup mengganggu, ya sikat. Eh maksudnya cabut. Ya biar kayak mamak-mamak sangar kan...sikaaat! wkwkwk.
Irigasi juga penting. Di desa saya ada orang yang pekerjaanya khusus mengatur pengairan di sawah. Dan si Bapak ini dibayar secara berkala oleh para pemilik lahan. Saya kurang paham juga sih maksudnya "mengatur air" itu yang bagaimana. Bukannya air mah udah ngalir-ngalir aja gitu yah, yang susah diatur kan hati (LAH). Kadang ada drama juga melalui si Bapak pengatur air ini (kalau di desa saya sih disebutnya ulu-ulu). Kalau ada pemilik lahan yang benci ke pemilik lahan lainnya, si Bapak ini bisa bantu sabotase asal dibayar wkwk. Simbah saya pernah mengalami disabotase orang lain soalnya, haha. Maap hal jahat kenapa saya ketawa ya :(
Ya jadi gitu, bertani sangat bergantung pada musim. Mau di dataran tinggi maupun rendah tetap sama. Tapi di Indonesia sih setahu saya petani jadi kreatif justru karena kendala musim. Sayang saya nggak hafal tanaman apa yang bagus ditanam di musim apa. Hehe maklum, dari kecil orang tua menyiapkan saya untuk jadi guru atau PNS bukan petani. Sejujurnya ada sih perasaan sedih dalam sanubari saya jauh di dalam sana. Petani padahal pekerjaan mulia seperti guru. Mereka yang memungkinkan makanan tersaji. Sampai hari ini saat Apple meluncurkan M1 menggantikan intel, kita semua tetap makan nasi buah sayur. Bukan komputer.
Bertani juga banyak aral rintangnya, macam main game gitu lah. Setelah benih ditanam, irigasi diurus, pekerjaan nggak berhenti di situ. Petani masih punya beban pikiran, yaitu hama. Tikus, walang sangit (belalang), burung, mungkin juga babi hutan kalau di luar jawa (?) hujan badai, angin. Di Bali tempat saya kos dekat dengan persawahan. Tiap musim hujan sering saya lihat tanaman padi yang sudah kuning (tandanya dikit lagi mau dipanen gaes) roboh gitu karena angin. Lihat itu saja saya ikut sedih banget. Karena untuk sampai tahap itu, kerja dan biaya yang dikeluarkan sudah banyak. Gagal panen itu pahit. Saya inget waktu SD sering nongkrong depan TV saat simbah ngobrol dengan Mamang yang bantu keluarga buat garap sawah. Paling sering datang ke rumah minta uang buat pupuk, air kurang, dan hama tikus. Sayang saat itu saya terlalu kecil untuk punya rasa ingin tahu. Sampai sekarang saya nggak tahu bagaimana simbah dan mamang menangani persoalan hama ini. Tapi saya tahu jelas nggak mudah. Saya di kantor handle tikus yang bikin rusak AC aja rasanya senewen banget. Padahal AC-nya bukan punya Saya. Biaya perbaikannya juga bukan saya yang bayar.
Nah terus kita ke bagian paling penting nih, penjualan hasil panen. Saya mau cerita yang terjadi di desa saya. Saya nggak tahu bagaimana dan apa praktek yang terjadi di tempat lain ya. Di desa saya yang paling umum terjadi adalah petani menjual hasil panen mereka ke whom so called "tukang tebas". Makna tebas di sini bukan seperti dalam kalimat "menebas kepala orang". Dalam KBBI kata tebas juga punya makna lain yaitu borong, dan spesifik yang diborong adalah barang hasil pertanian. Jadi "tukang tebas" maksudnya adalah orang yang pekerjaannya membeli barang hasil pertanian. Di desa saya, tukang tebas ini merupakan tangan kedua dari pemilik modal lainnya. Biasanya sih pengusaha pemilik tempat penggilingan padi atau saudagar beras, yang mereka berdua ini juga tangan kesekian dari para pembeli beras di tingkatan yang lebih tinggi. Kira-kira begitulah hierarkinya. Dan yap, petani ada di dasar hierarki tadi. Jadi nggak heran bila harga beli yang diberikan si tukang tebas ke petani murah. Karena kena potong keuntungan di tiap tingkatan. Dan biar bagaimana pentingnya peran petani di hierarki ini, mereka tetap tidak punya cukup pengaruh untuk mengatur harga. So sadd.
Itu semua di atas review singkat saya pribadi tentang duka pekerjaan bertani. Bagaimanapun setelah kita semua dewasa, kita jadi pandai menghitung untung rugi. Entah saya memang sudah jauh kerasukan kapitalisme atau memang pemalas, menjadi petani sungguh tidak masuk dalam keinginan. Kalau saya masih punya pilihan lain ngapain saya jadi petani. Udah kerjanya payah, rintangannya melawan alam dan berurusan sama hewan lain. Padahal komunikasi sama tikus, belalang, dll kita nggak bisa. Repot banget dah. Mending juga saya kerja pakai komputer, duduk, syukur-syukur di ruangan ber-AC. Meski ending-nya sering sakit pinggang dan beresiko kena ambeyen karena kurang gerak, yang penting kan nyaman ya nggak (?). Terus juga kalau kumpul keluarga orang tua bisa bangga juga kalau anaknya kerja kantoran kan. Meski kalau jadi PNS itu lebih ultimate lagi sih dalam masyarakat desa saya. "Oooh PNS..." semacam semilir surgawi gitu kayaknya. Jadi hierarkinya tu gini. PNS, pedagang/pengusaha, guru, karyawan swasta, pengangguran, petani. Gitu.
Tapi sejujurnya saya masih berharap suatu saat bisa bercocok tanam (asek). Saya suka makan, cinta dengan makanan, Saya sangat tertarik dengan sejarah yang melatar belakangi sebuah makanan lahir. Saya selalu terkesima dengan fakta bagaimana makanan bisa menjadi penghubung peradaban, serta bisa menjadi pintu masuk rasa sayang dan cinta aiih. Maka dari itu bagi Saya pribadi, keberadaan para petani adalah spiritual. Meraka harus tetap ada sampai entah kapan teknologi bisa memampatkan sari-sari makanan menjadi sebesar kapsul vitamin C. Sampai saat itu datang, para petani ini harus ada, hukumnya wajib. Kalau mereka nggak ada, habis, kita mau gimana?. Saya nggak mau makan iPhone.
Sebagai generasi muda, sebetulnya saya punya willingness. Tapi kan willingness saja nggak cukup. Selain realita yang harus dihadapi kaum milenial misalnya pinjaman kuliah, biaya hidup, tanggungan keluarga, membuat kita nggak leluasa pilih-pilih karir. Pokoknya yang bisa kasih pemasukan tetap dan besar ya itu yang dipilih. Setelah hutang lunas pun, secara naluri kita berpikir untuk mengumpulkan kapital. Punya rumah, mobil, sekolah lagi, menikah, dll. Sulit rasanya mengumpulkan kapital dari bertani saja. Dulu aja simbah dan ibu saya tetap harus bisnis buka warung makan. Kalau dari bertani aja, sulit untuk bertahan.
Tapi yak sebenernya sih kondisi sulit terjepit gitu buat petani seandainya pemerintah kasih dukungan maksimal, kita bisa sedikit berbahagia. Saya nggak tahu ya, nggak pernah baca data. Apa iya sih produksi beras, garam, dan sayur mayur nasional kita selalu kurang buat mencukupi kebutuhan nasional?. Apa iya harus impor terus?. Dulu aja simbah sering khawatir kalau pas panen eh ada beras distribusi dari Bulog. Karena itu artinya ada kemungkinan hasil panen simbah susah laku. Yha kalau harus bersaing sama beras dan produk impor, kita mah bisa apa gitu. Dari zaman saya kecil sampai sekarang udah 33 tahun masalah ini terjadi terus menerus dan belum ada kebijakan yang menempatkan petani lokal sebagai yang utama dalam mata rantai. Yang ada malah gerakan independen masyarakat yang mengangkat produk organik dan pertanian organik. Alhamdulillah ada yang mau mem-branding petani lokal dan membuat produk mereka dilirik pasar.
Yak ini sih uneg-uneg saya sebagai anak muda (nggak muda-muda banget sih, muda setengah tua lah). Mbok ya pemerintah investasi di teknologi pertanian gitu. Saya agak bersyukur Pak Jokowi mau memperbaiki pengairan persawahan terutama di luar pulau Jawa dengan membangun waduk. Irigasi yang paling mendasar aja baru sekarang ada yang perhatian. Di belahan benua lain sudah sampai ke trend urban farming, di sini pertanian konvensional aja masih banyak masalah. Saya bukannya banyak nuntut, tapi seandainya pemerintah put more effort to support farmer mungkin setelah hutang-hutang saya lunas, saya punya lho keinginan bertani. Bukan cuma tanam cabe-cabean dan tomat-tomatan tapi beneran berkeinginan masuk industri pertanian. Karena bertani itu sustainable.
Yak gitu. Dan ada satu hal lagi. Tapi ini sih analisa pribadi saya ya. Akar penyebab hilangnya ketertarikan menjadi petani di generasi saya dan generasi di bawah saya, nggak lain adalah karena orang tua kita nggak mau kita jadi petani. Ini bahkan disampaikan mereka sejak dari kita kecil. "sekolah yang pinter mbak, biar nggak jadi wong tani". Berapa banyak orang tua petani yang bangga menyekolahkan anak-anak mereka sampai sarjana, jadi insinyur, jadi dokter, jadi dosen, dari hasil bertani. Kebanggaan orang tua kita ada saat kita justru tidak berprofesi sebagai petani. Sedari kecil tanpa kita (maksud saya kita yang keturunan petani aja. Yang turunan saudagar ya jangan ngerasa ya, nggak usah geer kau) - di alam bawah sadar nih udah menangkap pesan "jadi petani itu nggak keren, nggak membanggakan", gitu. Kasarnya, isu bahwa petani itu nggak keren, nggak seksi, nggak enak, itu sudah dihembuskan sedari kecil oleh para petani itu sendiri. Saya sudah sekian lama di-framing bahwa profesi petani itu nggak keren. Mending jadi dokter aja. Gitu. Ini ironi terbesar yang saya sadari saat sudah dewasa. Saya menemukan sendiri adi luhung profesi petani bukan dari orang tua saya yang petani. Tapi dari pengalaman dan pengamantan saya sendiri terhadap kehidupan.
Yah tapi persoalan petani menjadi penghuni lapisan bawah di hierarki sosial itu kayaknya terjadi di semua negara sih ya nggak. Padahal dari pejabat sampai pengusaha start up tu ya makan nasi buah dan sayur. Para petani ini yang "nyuapin" mereka. Tapi petani jadi yang paling terakhir diperhatikan para pembuat kebijakan. Yah ini misteri terbesar bagi saya sih, mengapa, bagaimana, kog bisa. Yah saya dan kamu, kita, punya seumur hidup untuk menemukan jawabannya. Jadi apakah saya mau jadi petani?. Saya mau. Tapi nanti setelah kredit hutang saya lunas.
Comments