top of page
Search
Writer's pictureElmasyi

Lulusan UIN Kog Nggak Berjilbab?

Bagi Saya pertanyaan ini lebih horror dari “euis kapan nikah?”. Untuk perempuan usia 32 tahun, pertanyaan kapan menikah itu layaknya rasa sakit saat menstruasi. Nggak nyaman, ingin cepet berakhir, sering bikin kesel bahkan nangis, tapi ya udah terbiasa aja gitu. Saya nggak inget kapan tepatnya dapat mens pertama kali. Yang jelas udah lebih dari 10 tahun lah, jadi menghadapi PMS mah Saya udah santuy. Tapi pertanyaan kenapa Saya tidak berhijab padahal lulusan Universitas Islam itu ngeri-ngeri sedap untuk ditanggapi. Mau dijawab takut yang tanya ngeri, tidak dijawab itu mulut comel penanya terlalu sedap untuk dilewatkan.


Selama ini tiap pertanyaan itu dilontarkan ke Saya, Saya senyumin aja. Bukan nggak mau jawab, tapi untuk menjawab pertanyaan itu dengan jujur bisa memakan waktu lama. Belum lagi Saya yakin jawaban Saya bakal memancing perdebatan. Makin malas dah. Terlebih di satu sisi, makin Saya tua makin Saya malas menjelaskan pilihan-pilihan hidup Saya ke orang lain. Saya malas buang energi menjelaskan ini-itu, A sampai Z berharap bisa dipahami tapi … yep, seringnya tidak. Jadi lama-lama Saya pikir buat apa lah Saya repot-repot menjawab dan menjelaskan saat ada 50% kemungkinan mereka nggak akan mau paham. Toh selama pilihan hidup Saya tidak membahayakan nyawa orang lain Saya nggak perlu khawatir dan mengkhawatirkan pendapat orang lain tentang diri Saya.


Yah tapi … sebagai manusia yang punya moral (btw banyak yang menganggap Saya miskin moral karena gaya hidup yang liberal dll). Saya merasa punya tanggung jawab moral untuk menjelaskan. Karena embel-embel “lulusan UIN” itu mengaitkan Saya dengan sebuah institusi pendidikan yang punya reputasi tertentu. Fyuh sumpah Saya ingatkan dari sini ya, ini bakalan panjang. Tapi mudah-mudahan teman-teman yang mampir untuk membaca ini sudi mengikuti, karena sesungguhnya “hal” ini menarik.


Saya bukan ahli agama meskipun iya, Saya lulusan universitas islam. Oleh karena itu di sini Saya tidak bisa menulis tentang dalil atau khilafiyah tentang jilbab dan aurat di bidah fiqih. Saya tidak menguasai itu dan akan berdosa bila Saya menyampaikan yang tidak sesuai. Yang ingin Saya paparkan adalah pengalaman personal Saya sebagai manusia biasa dalam aspek religi dan spiritual. Tulisan Saya ini hanya pendapat pribadi, sebagai bentuk sharing sesama manusia. Tidak ditujukan sebagai rujukan berpikir. Ini disclaimer pertama.


Disclaimer kedua yaitu, bahwa apa yang Saya paparkan di sini adalah murni hasil dialektika Saya sendiri. Sehingga tidak ada kaitannya dengan lembaga mana pun. Memang sudah pasti proses dialektika Saya dipengaruhi oleh faktor eksternal termasuk pembelajaran yang Saya peroleh di lembaga pendidikan. Namun itu bukan satu-satunya faktor yang memengaruhi proses saya berpikir. Masih ada banyak lagi. Banyaak banget. Sehingga sebetulnya keputusan untuk tidak memakai jilbab adalah satu bentuk perjalanan intelektual dan spiritual saya pribadi. Ini penting untuk dipahami.


Oke mari Kita mulai (kita? Saya doang kali ya :D ). Jadi ada tiga kata kunci yang menjadi landasan penting dalam proses dialektika Saya yaitu: pengalaman, esensi, dan personal. Sekilas tiga kata tadi tidak punya korelasi langsung dengan jilbab. Jawaban Saya, iya memang. Tapi tunggu dulu. Coba kita semua merenung barang 15 menit saja. Jilbab adalah salah satu simbol agama kan. Simbol religiusitas begitu bahasa kerennya. Nah sebagai orang dewasa saya yakin kita sudah “aware” bahwa segala ide religi dan spiritual akan menempati konteks sejarah yang khusus.


Agama, keyakinan, keimanan, bukan hanya sebuah informasi dalam kitab suci yang didakwahkan alim ulama. Tapi sesuatu yang kita semua amalkan, pratek-kan dalam kehidupan sehari-hari. Saat mengamalkan ajaran kitab suci tentu akan bersinggungan dengan budaya, umat agama lain, peraturan legal formal, dst. Ini yang Saya maksud dengan konteks historis. Jadi ajaran kitab suci tidak pernah berdiri sendiri. Selama ajaran ini dianut oleh manusia, Ia akan selalu berada dalam ruang sosial, dalam sejarah.


Manusia adalah makhluk sejarah dalam kaitanya dengan masa dan budaya. Orang tua buyut Saya memeluk Islam, namun dalam masa dan budaya yang berbeda dengan Saya. Sekarang Saya bisa mengakses Kitab Suci digital, membayar zakat lewat transfer, bahkan saat pandemic ini sholat jumat dan Idul Fitri dilakukan dari rumah. Dulu tidak begitu. Jadi keberagamaan kita selalu berada dalam konteks sosial yang khusus dan unik. Bila teman-teman ingat dalam Islam, perbedaan konteks historis ini juga yang mendasari munculnya khilafiyah[1] dalam bidang fiqih. Perbedaan tata cara wudlu menurut Imam Syafi’I, Hambali, dan Hanafi. Perbedaan fatwa yang lahir ketika umat Islam dalam kondisi perang dan tidak tersedia air yang cukup untuk bersuci, misalnya.


Adanya perbedaan pendapat dan perbedaan fatwa di bidang muamalah di kalangan Alim Ulama sejak dulu hingga sekarang bahkan, membuat Saya berpikir. Bahwa dalam agama pintu dialog sebetulnya selalu terbuka lebar. Kepentingannya adalah untuk menyelaraskan agama dengan perkembangan peradaban. Agama mengalami tantangan untuk bisa selaras dengan perubahan-perubahan budaya. Dan menurut Saya sejauh ini para pemeluk agama bisa menjawab tantangan itu dengan baik.


Bukti adanya aplikasi adzan digital, Qur’an digital, organisasi keuangan syari’ah, gerakan advokasi kontemporer berbasis agama (feminisme islam, filantropi islam, dll) menurut Saya merupakan bukti agama mampu menunjukkan relevansinya terhadap perkembangan zaman. Pendapat Saya pribadi, agama adalah salah satu modal sosial yang solid dalam kehidupan kita. Masih banyak nilai-nilai baik dari agama yang bisa menjadi pemantik sebuah gerakan perubahan sosial. Dalam konteks sosiologi, keberadaan agama sangat signifikan.


Pengalaman

Dinamika agama dalam kehidupan sosial dan bagaimana ulama Islam merespon hal ini (hadirnya fatwa-fatwa kontemporer), membuat Saya berpikir. Oh berarti dalam menjalankan agama itu ada bagian dari agama itu sendiri yang dinamis dan ada yang tetap dong ya. Saya merasa kesimpulan Saya ini tidak sembarangan, tapi berdasarkan pengalaman di lembaga pendidikan formal. Saat Saya belajar di kelas Fiqih Sosial, kami dihadapkan pada problematika modern yang pada zaman Nabi mungkin belum muncul. Misalnya bagaimana sebaiknya menjalankan ibadah saat berada dalam pengungsian karena bencana?. Atau apakah pendidikan masuk dalam kebutuhan primer atau tidak di masa globalisasi?. Apakah penyandang difabilitas dan pekerja seksual komersil masuk dalam kelompok marginal yang harus dilindungi?.


Mungkin bagi sebagian orang, hal-hal di atas tidak penting, bahkan tabu. Tapi untuk Saya, justru itu lah fungsi agama: menyelamatkan. Fiqih sosial adalah sebuah usaha dialog dalam kerangka agama dengan tujuan supaya agama hadir dalam ruang-ruang kehidupan umatnya. Agama hadir dalam situasi serba terbatas saat bencana. Agama hadir bagi kaum yang dipandang remeh karena memiliki keterbatasan fisik. Agama hadir bagi kaum pekerja non formal yang dianggap musuh masyarakat, padahal mereka sebenarnya mengalami despresi ekonomi. Saya berpikir, Iya… Saya tahu Tuhan selalu hadir dan membersamai kita setiap waktu. Namun bagaimana agama Tuhan bisa betul-betul hadir dan menyelamatkan, adalah tugas kita, para penganutnya. Pengalaman ini mengantarkan Saya pada aspek yang menurut Saya adalah esensi dari agama yaitu kemanusiaan.


Esensi

Kesimpulan Saya mengenai esensi kemanusiaan dalam agama selanjutnya makin dikuatkan saat Saya mengerjakan skripsi. Saya meneliti tentang pemberdayaan waria oleh sebuah LSM di kota tempat Saya kuliah. Saya tidak punya teman waria sebelumnya meski sejak lama secara terbuka saya mendukung gerakan LGBTQ. Saat Saya masuk ke komunitas mereka Saya jadi lebih paham bagaimana sulitnya menjalani hidup sebagai waria. Kesulitan yang dihadapi oleh waria itu berlipat-lipat.


Dalam pergaulan sering dibenci, dalam aspek ekonomi juga sama sulitnya. Jaraaaang sekali ada yang mau menerima mereka sebagai pegawai. Bahkan hanya untuk sekedar cuci piring. Jadi kalau ada anggota masyarakat yang benci dengan prostitusi waria sebaiknya ia arahkan telunjukan pada masyarakat kita. Kita yang salah, kita yang memandang mereka remeh dan rendah. Kita yang tidak memberi peluang. Mau cari makan dimana dan bagaimana lagi?.


Sejujurnya hati Saya banyak hancurnya di masa-masa mengerjakan skripsi itu. Saya sedih kenapa manusia dan hidup kog begini amat ya dengan manusia lain. Saya sedih karena Saya juga tidak punya power untuk menolong mereka. Tapi salah satu yang menghangatkan hati Saya saat itu adalah dukungan intelektual dari tempat Saya belajar. Dalam arti, Saya tidak dilarang untuk mengambil topik itu. Tidak dihujani pernyataan/pertanyaan tentang hukum agama menjadi waria dll.


Saya hanya diminta memotret kehidupan mereka dalam konteks sosiologi dan pemberdayaan. Lalu apakah waria menjadi salah satu kelompok rentan yang harus dilindungi dan diberdayakan atau tidak. Lagi-lagi bagi Saya ini mengindikasikan bahwa gender itu nomor kesekian, yang pertama adalah aspek kemanusiaan. Teman-teman waria juga memiliki pesantren sendiri dan ada seorang teman yang memotret mereka juga dalam skripsinya.


Sebenarnya masih banyak pengalaman lain yang makin menguatkan keyakinan Saya bahwa esensi agama adalah kemanusiaan. Tapi tentu Saya nggak bisa ceritakan di sini. Pertama karena nanti terlalu panjang, kedua kerana Saya masih ingin menyimpannya untuk diri sendiri. Tapi Saya pikir kesimpulan Saya setidaknya tidak bertentangan dengan logika. Saya tidak berani bilang kesimpulan Saya benar, karena menurut filsafat jalan memperoleh kebenaran itu ada banyak. Sehingga memang kebenaran itu relative. Tapi memang Saya akui Saya adalah pribadi yang sangat empiris. Bagi Saya kebenaran adalah apa yang Saya bisa observe. Oleh karenanya sejak awal Saya bilang ini adalah tentang pengalaman personal Saya.


Personal

Saya manusia biasa. Seperti manusia lain, Saya mengalami proses internalisasi nilai-nilai. Proses itu membentuk pribadi Saya, sikap dan pemikiran. Adik perempuan Saya selalu membedakan penilaiannya terhadap manusia. Pertama berdasarkan aspek human-nya, kedua berdasarkan aspek seks (jenis kelamin). Saya ingat dia sering bilang “yah mbak cowok ini sebagai manusia sih baik, tapi sebagai cowok aduh parah”. Saya sangat setuju dengan adik Saya, karena memang itu tepat dan banyak faktanya. Saya kenal beberapa teman pria yang dikenal playboy tapi sebetulnya sisi kemanusiaannya lembut. Misalnya tiba-tiba nolong orang tua nyebrang jalan, nganterin ibu-ibu di jalan yang kecelakaan diantar ke RS sampai pulang ke rumah.


Demikian juga Saya. Saya melihat diri Saya dalam dua aspek tadi. Sebagai manusia yang sudah dewasa, punya pemikiran dan nilai, Saya merasa berhak untuk menentukan jalan hidup Saya sendiri. Saya berhak menentukan mana nilai yang penting dan tidak penting. Lalu mungkin ada yang komentar: kog sombong, yakin banget yang lu pilih udah bener?. Ya, bisa jadi Saya sombong. Meski Saya lebih suka menyebutnya sebagai kepercayaan diri. Dengan semua pengalaman hidup yang Saya lewati, pengetahuan yang Saya punya, informasi yang Saya dapat, Saya percaya diri Saya cukup mampu untuk memutuskan. Dan lagi pula ini salah satu indikator kedewasaan bukan?.


Sebagai orang dewasa Saya merasa nggak perlu lagi buka kitab suci untuk tahu bahwa mencuri itu kejahatan, karena empati Saya merasakan demikian. Saya nggak mau laptop Saya dengan banyak data pekerjaan didalamnya dicuri orang, maka Saya nggak curi laptop orang lain. Saya tahu Saya benci diomongin di belakang, ya Saya berusaha sebisa mungkin nggak ngomongin orang (meski susah). Intinya makin kita dewasa, kita makin mampu membuat judgment dan keputusan hidup. Perangkat yang disediakan evolusi untuk kita (empati, insting) makin matang.


Lalu sebagai perempuan dewasa Saya juga makin menyadari betapa dalam kehidupan sosial Kami menemui banyak hambatan. Sedihnya, hambatan ini karena aspek seks (jenis kelamin). Karena kami ini perempuan. Opresi, subordinasi dll yang dilakukan terhadap kami oleh berbagai institusi (budaya, negara, agama) menurut Saya terjadi karena orang sering lupa melihat aspek yang satunya lagi, manusia. Kami ini manusia loh sama seperti laki-laki. Bila laki-laki punya hak untuk menentukan pasangan, kami juga sama. Emosi kan bukan cuma milik lelaki. Kami juga punya emosi, bisa jatuh cinta, menolak, tidak suka.


Bila laki-laki boleh “nembak” duluan misalnya, kenapa kami perempuan dianggap aneh bahkan murahan bila melakukan itu?. Bila kita mengakui laki-laki dan perempuan adalah MANUSIA yang sama-sama memiliki perasaan, mengapa mengungkapkan perasaan suka seolah hanya menjadi hak laki-laki?. Sebagai perempuan dewasa banyak hal dalam kehidupan sosial yang menurut Saya kurang adil untuk perempuan. Dan sekali lagi menurut Saya, sebab mendasarnya adalah karena orang lupa melihat perempuan sebagai manusia sama seperti laki-laki.


Terus is, korelasinya apa sih sama keputusan nggak pake jilbab?. Kalau teman yang membaca ini berharap Saya mau menggunakan argumen feminisme, atau mendebat ayat tentang jilbab di sini….silahkan kecewa. Saya tidak mau melakukan itu. Kenapa? Pertama ilmu Saya belum cukup (baik ilmu agama & ilmu tentang feminisme), kedua memang bukan itu yang Saya “alami”. Saya bukan member gerakan feminisme, tapi Saya setuju ide tentang equal access untuk semua manusia. Hanya saja, Saya tidak memakai jilbab bukan karena Saya feminis.


Banyak juga orang mengira karena Saya sekolah di kampus yang jadi icon pemikiran islam kontemporer (liberal orang bilang) maka Saya nggak pakai jilbab. Saya tidak memakai jilbab bukan karena Saya pernah belajar di Almamater Saya. Banyak juga lho teman-teman Saya yang feminis muslim liberal dan tetap istiqomah dengan jilbab.


Setelah panjang lebar Saya ngomong, alasan inti Saya sebenarnya sederhana. Saya tidak memakai jilbab karena Saya memang tidak merasa perlu memakainya. Lho menentang aturan dong?. Hm Saya nggak pernah menentang agama dengan menolak jilbab. Saya hanya tidak memakainya. Saya nggak pernah dakwah atau mengajak perempuan lain untuk tidak berjilbab. Saya hanya melakukannya pada diri sendiri. Saudara, teman Saya berjilbab. Mereka tidak mempermasalahkan Saya, begitu pula sebaliknya.


Sebagai manusia dewasa Saya merasa berhak memutuskan. Sebagai perempuan dewasa Saya merasa nilai dan kualitas moral Saya tidak luntur hanya karena Saya tidak memakai atribut agama. Saya tetap hormat pada keluarga, kolega kantor, tukang bubur ayam langganan, bapak-bapak parkir, dll. Saya merasa Saya bisa berfungsi dengan baik sebagai anak, karyawan, teman, tanpa perlu mengenakan atribut agama. Dan Saya yakin begitu pula dengan perempuan muslim di luar sana yang tidak berjilbab. Kami valid dan tetap bernilai.


Sebagai penutup, sekali lagi Saya ingin tegaskan. Tulisan ini adalah sharing pribadi Saya. Karena terus terang Saya capek dengan pertanyaan tentang jilbab. Saya tahu pasti banyak yang tidak setuju, ingin menghujat, dll. Saya terima, silahkan Saya tidak keberatan. Perbedaan pandangan memang perlu agar kita punya bahan dialektika.


Menurut Saya nggak lucu kalau kita berantem karena beda pemahaman. Lha wong kita sepakat kog agama itu ada untuk menghadirkan kebaikan. Kecuali kalau cara pendekatannya mengarah ke ekstrimisme agama yah, itu jelas merugikan banyak orang dan itu salah. Tapi selama itu hanya soal simbol, Saya rasa santuy aja lah. Kita masih bisa duduk bareng menikmati agama dan bergandengan tangan dalam kemanusiaan. Sekian, terima kasih sudah mampir membaca. Semoga ada manfaat yang bisa diambil.


[1] Perbedaan pendapat, pandangan, atau sikap

7 views0 comments

Recent Posts

See All

Maju Kena Mundur Kena

Hidup sedang maju kena mundur kena. Saya nggak tahu dulu warkop dki bisa came up dengan kalimat ini. Tapi nggak heran sih, anggota warkop...

Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page