Hidup bagaikan hamparan samudra luas dengan beribu misteri di dalamnya. Beberapa misteri bisa kita ketahui pada akhirnya, beberapa tetap tak terungkap. Persis seperti samudra, hidup pun lengkap - komplit - satu paket - dengan arus bawah laut yang kuat, ombak, badai, pasang dan surut. Ketika kita bersantai menikmati laut dari pantai saat cuaca sedang cerah, seluruh gambarannya nampak indah. Kita tidak ingin beranjak dari sana sejak sunrise hingga sunset. Begitu juga hidup. Saat situasi sedang aman, pekerjaan stabil, pertemanan menyenangkan, asmara membara, siapa yang tak bahagia?.
Tapi sayang, ombak tak selalu tenang.
Setelah 34 tahun hidup, Saya setuju dengan yang diungkapkan oleh Gie - yang kurang lebih begini - "adalah sebuah keberuntungan tidak pernah dilahirkan; atau mati muda". Hidup adalah penderitaan. Ironisnya kesadaran akan hal itu datang seiring kematangan diri. Yang lebih ironis, kita semua pasti akan sampai pada titik kematangan itu. Well, kematangan yang Saya bicarakan secara absolut membutuhkan empati. Tanpa empati, sulit bagi kita mengenali dan membedakan antara kesenangan dengan rasa sakit; kebahagiaan dengan penderitaan. Gie dan seorang filsuf yang dia kutip tadi, Saya rasa mereka adalah orang-orang yang empatinya hidup dan secara konstan terlatih.
Bagi Saya penderitaan yang nyaris tak tertanggung adalah mengetahui bahwa orang lain menderita dan Saya tahu tidak bisa mengubah itu. Saat Saya menonton berita atau dokumenter tentang anak-anak terlantar karena perang atau memang Ibu mereka tak bisa merawat. Hidup anak-anak itu seperti di meja judi. Nasib yang menentukan. Bila mereka beruntung bertemu orang tua adopsi yang baik. Bila yang terjadi sebaliknya, adalah cerita horor yang saya tidak ingin tahu. Empati seperti ini memang kadang merepotkan. Membuat kita sibuk memikirkan urusan hidup orang sementara hidup sendiri badai setiap hari.
Penderitaan hanya salah satu bumbu kehidupan. Ataukah mungkin ia (penderitaan) adalah muara dari setiap ketidakseimbangan, rintangan, dan masalah yang kita hadapi setiap hari. Saya suka menganalogikan kehidupan dengan samudra, bisa jadi karena dalam hidup Saya badai datang setiap hari dan Saya sekuat tenaga harus bertahan. Entah apakah hidup orang lain juga sama. Mudah-mudahan tidak. Sangat melelahkan menghalau badai setiap hari. Meski ada saatnya air laut tenang, namun isi kapalmu telah berantakan oleh badai hanya dalam beberapa menit. Sangat melelahkan membereskan kekacauan setelah badai.
Badai datang dalam bentuk apapun. Apapun memungkinkan dalam kehidupan di semesta yang diam-diam kacau ini. Seremeh temeh adikmu yang malas mengabarkan akun rekening bank, supplier telat mengirim barang hingga produksi terhambat, atau sebesar "tiba-tiba" orang yang kita cintai sudah tidak di sini lagi. Pacar yang selingkuh, pernikahan yang tidak berjalan baik, anak kita ternyata autis, cincin nikah hilang, kecelakaan beruntun, bos yang terus menyalak persis anjing galak. Arus kehidupan jarang sekali melambat, dan badai bisa datang tanpa ampun. Dan selama kita belum mati semua itu harus kita hadapi mau tidak mau.
Kita semua tentu punya idealisme. Bagi saya, kebahagiaan adalah salah satu bentuk idealisme. Yah maaf hidup saya banyak nggak idealnya. Ya tapi saya tahu mana ada hidup yang bahagia terus sepanjang tahun. Karena itu saya tahu tiap orang punya mantra. Mantra yang diucapkan tiap hari sejak kesadaran kita kembali dari tidur panjang. Mantra yang dirapalkan untuk menguatkan diri menghadapi hari yang mungkin ganas, panas. Mantra yang terucap dan kita harapkan mampu merasuk dalam... jauh ke dalam relung, palung jiwa dimana kesadaran kita berada. Mengatakan pada diri sendiri di tempat lengang itu: "Bertahanlah. Saya akan membantumu bertahan hari ini".
Apa mantramu?.
Comments